Budaya Timur (Masih) Merupakan Budaya Indonesia

Melihat ada info lomba blog paling Indonesia (info klik disini), langsung teringat pengalaman ketika hidup satu bulan di salah satu kota di Jawa Timur ketika dulu kerja praktik

Membentang dari sabang sampai merauke. Negeri dengan kekayaan alam yang mengakar di setiap jengkal tanah yang dipijak. Flora dan fauna menjadi penjaga keasrian batu zamrud di garis khatulistiwa ini. Berpuluh ribu kepulauan membentang diatas samudera yang menyembunyikan misteri laut yang begitu indah. Keragaman budaya dan adat istiadat menjadikannya kaya akan kemajemukan yang menjadi aset menggirukan. Negeri ini adalah warisan dunia akan sebuah potensi dan kekayaan. Ya aku sedang berbicara mengenai Indonesia.

Indonesia adalah sebuah negara yang terletak di bagian timur dunia. Secara geografis Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia yang merupakan bagian timur dunia. Hal ini menjadikan budaya dan corak ketimuran menjadi identitas jiwa masyarakat Indonesia. Walaupun Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku dan golongan, adat ketimuran kental di individu masyarakat negeri ini. Nilai luhur ini merupakan warisan yang diturunkan para pendahulu untuk diteruskan ke generasi berikutnya. Saya yakin semua orang tua di Indonesia menanamkan budaya timur ke dalam diri anaknya.

Sebenarnya apa itu budaya timur dan apa bedanya dengan budaya barat ? Masyarakat dari bangsa timur dikenal dengan keramahtamahannya, bahkan terhadap orang asing. Kepribadian bangsa timur juga kental dengan tutur kata yang lemah lembut dan sopan dalam bergaul maupun berpakaian. Cara berpakaian orang timur cenderung tertutup dan tidak ‘mengumbar’. Sifat tidak individualis, saling menghargai dan tolong menolong satu sama lain tanpa pamrih menjadi sifat yang dijunjung bangsa timur. Kebiasaan untuk menjaga tali silaturahmi antar sesama, pekerja keras, tingkat keagamaan atau religiusitas yang tinggi, menjadi suatu hal yang lumrah di masyarakat timur.

Disini saya tidak bermaksud untuk mengatakan kebudayaan barat berbeda 180 derajat dengan budaya timur. Budaya barat juga memiliki kelebihan yang membedakan dengan budaya timur.  Orang Barat menggunakan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam tindakannya. Mereka melakukan berbagai diskusi dan debat untuk menemukan atau menentukan makna yang sebenarnya. Penghargaan terhadap martabat manusia, kebebasan, dan penciptaan dan pemanfaatan teknologi menjadi suatu identitas bagi bangsa barat. Sebagai contoh, Liberalisme dalam dalam bertutur kata, berpakaian dan berpendapat tanpa membedakan status sosial adalah suatu hal yang wajar. Mereka banyak belajar dan juga mengajar yang awalnya datang dari proses diskusi dan perdebatan yang mereka lakukan.

Secara general, tabel ini memperlihatkan perbedaan antara orang barat dengan orang timur.

 

Orang Barat

Orang Timur

Opini

Langsung ke pokok permasalahan

Berbelit-belit dalam mengutarakan pendapat

Waktu

Sangat menghargai waktu

Cenderung jam karet

Hubungan keluarga

Cenderung individualistis

“Nggak ngumpul berarti nggak makan”

Sesuatu yang baru

Cenderung tidak ingin langsung memilikinya, sekedar tahu dulu

Cenderung konsumtiv terhadap barang baru

Anak

Dididik mandiri semenjak kecil

Cenderung dimanja dan belum bisa mandiri

Transportasi

Naik sepeda atau jalan kaki

Cenderung naik kendaraan bermotor

Menghadapi masalah

Cenderung mencari cara bagaimana menyelesaikan masalah itu

Cenderung menghindari masalah

Makan

Dibagi 3 : Pembuka, penutup, utama

Semua makanan utama

Weekend

Lebih sering menghabiskan waktu dirumah

Lebih sering jalan-jalan ke mall atau tempat hiburan

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah benar Indonesia masih menganut budaya timur ? Apakah budaya timur yang katanya sopan dan ramah telah terkikis oleh penetrasi kebudayaan barat ? Saya akan share sedikit pengalaman yang saya alami.

Semenjak lahir saya selalu tinggal di Jakarta, sang ibu kota metropolitan. Harus saya akui kehidupan di Jakarta cukup keras. Kalau kata hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang akan menang. Mungkin pepatah terlalu ekstrim, namun saya cenderung melihat tren yang bergerak ke arah tersebut. Mengapa ? Karena terdapat pengikisan identitas yang terjadi di kota tempat tinggal saya.

Ketika saya kecil, saya selalu dididik sopan santun oleh kedua orang tua saya. Benar adanya kalau semua orang tua pasti mewariskan nilai luhur budaya timur kepada anaknya. Saya diajarkan untuk jalan menunduk kalau di depan orang tua, berpakaian rapi, mandi harus 2 kali sehari, dan lain-lain. Hal tersebut juga terjadi pada teman-teman sepermainan saya. Budaya timur masihlah kental di lingkungan saya. Itu mutlak.

Saya beranjak remaja dan seiring berjalannya waktu, saya melihat adanya kecenderungan pemudaran budaya timur. Ketika globalisasi terjadi, saya melihat budaya barat adalah kiblat baru dari arah pergerakan budaya timur. Sebagai contoh :

  1. Gaya pakaian: Budaya timur yang mengenakan pakaian tertutup mulai hilang dan tergantikan dengan pakaian yang agak terbuka dan mengumbar aurat. Buktinya ? Lihat saja di televisi.
  2. Tutur kata: Budaya timur terkenal dengan tutur katanya yang halus, namun hal tersebut cenderung memudar. Hal ini ditandai dengan amarah dan nada bicara tinggi untuk cara bicara. Hal ini disebabkan oleh tempramen karena tuntutan ekonomi yang menekan. Selain itu bahasa asing juga sudah mulai menggantikan kosa kata bahasa Indonesia. Buktinya ? Lihat saja penggunaan istilah asing yang tak bisa di terjemahkan ke bahasa Indonesia.
  3. Tren musik: Saat ini musik asing bebas masuk ke Indonesia dan mulai mengakar di jiwa anak muda. Nasionalisme dalam musik dalam negeri mulai tergantikan oleh lirik-lirik berbahasa asing. Buktinya ? Musik Indonesia mulai menggunaakn bahasa asing.
  4. Makanan: Saat ini banyak sekali restoran cepat saji milik negara barat. Anak-anak muda cenderung lebih menyukai restoran tersebut dibandingkan makanan khas daerahnya. Makanan daerah, kuno deh. itu penjabaran secara singkat. Buktinya ? kalau dibayarin lebih pilih mana : Makan di restoran perancis atau restoran padang ?
  5. Sopan santun: Ini merupakan pengikisan budaya yang paling saya sangat sayangkan. Saya melihat sekali adanya perbedaan sopan santun ketika saya dulu kecil dengan ketika saya berusia 21 tahun sekarang. Saya melihat sikap ramah tamah mulai tergantikan dengan sikap cuek dan ‘jutek’. Anak-anak muda banyak yang tak menaruh hormat pada tetuanya. Senyum tak selalu menjadi mimik muka ketika menyapa, dsb. Bukti kecilnya ? jarang ada anak muda yang jalan menunduk di depan orang tua.
  6. Kepercayaan: Pelajaran yang saya pegang teguh ketika hidup di Jakarta adalah, jangan percaya dengan orang asing karena banyak serigala berbulu domba dimana-mana. Dulu saya punya pengalaman pahit dicopet karena terlalu percaya dengan orang asing di bus. Niatnya mau menolong malah apes sendiri. Ketika berjalan di keramaian kita dituntut untuk waspada karena tak semua orang adalah orang yang tak punya niat jahat.

Lalu apa kesimpulan setelah saya tinggal 21 tahun di jakarta, yang notabennya ibu kota negara. Budaya timur memang merupakan budaya yang menjadi identitias masyarakat. Generasi tua masih mengajarkan nilai luhur budaya timur ke anak-anaknya. Namun terjadi kecenderungan untuk mengubah kiblat ke budaya barat, terutama di generasi muda. Kalau kalimat gaulnya ‘ah kuno loh kalau nggak ngikutin budaya barat.’ Jika ini terus dilanjutkan maka masyarakat Indonesia akan kehilangan identitas aslinya, yakni budaya timur.

Setidaknya itu kesimpulan yang saya ambil sebelum saya melewati hidup selama satu bulan di kota yang jauh dari Jakarta. Saya akan menceritakan pengalaman yang saya alami yang mengubah persepsi awal saya akan pengikisan budata timur.

Pada 25 Mei 2011, saya sedang di kosan di Bandung, mempersiapkan diri untuk seminar akhir penelitian 1, tugas kuliah saya. Tiba-tiba saya dihubungi bagian administrasi kampus agar segera menemui salah satu dosen. Saya pikir sesuatu yang tidak beres terjadi karena dipanggil dosen, namun saya salah. Ketika itu saya diberitahu kalau saya akan ditempatkan di kota Tuban untuk mata kuliah kerja Praktik / Kuliah Kerja Nyata.

Saya cukup bingung karena saya tidak pernah ke kota Tuban dan saya hanya punya waktu 4 hari untuk bersiap-siap karena tanggal 30 Juni saya sudah harus sampai di Gresik untuk menghadiri pembukaan masa kerja praktik. Baiklah, saya dan ketiga teman saya yang kebagian jatah disana langsung mempersiapkan segalanya, mulai dari tiket pesawat dan…., Hanya tiket pesawat saja. Kami sama sekali buta dengan kota tersebut jadi kami juga bingung apa yang harus kami persiapkan. Alhasil kami berangkat hanya berbekal tiket pesawat ke surabaya, koper dan surat pengantar dari kampus.

Tanggal 29 Juni kami sampai di Surabaya dan bermalam di rumah saudara salah satu teman. Keesokan pagi kami langsung menuju Gresik, kantor utama perusahaan tempat kami kerja praktik. Beberapa jam kami mendengarkan briefing dan pengarahan dari perusahaan sampai kami mendapat surat pengantar untuk berangkat ke Tuban (Pabrik tempat kerja Praktik ada di Tuban, Gresik hanya kantor utama saja). Untunglah salah satu temanku mempunyai saudara jauh di Tuban, yang membantu kami mencari kos dan keliling kota Tuban.

Sudah 3 jam perjalanan dari gresik, pemandangan monoton akan jalan tol mulai tergantikan. Tuban, kota kecil di pinggir pantai, dipenuhi rumah-rumah sederhana dan warung di jantung kotanya. Tak ada gedung-gedung pencakar langit atau pusat perbelanjaan mewah disini. Persawahan hijau berbatasan langsung dengan pemukiman warga, lengkap dengan orang-orangan sawah di tengahnya. Tak ada renetetan mobil yang mengular di jalanannya. Langit biru selalu menjaga terik matahari yang bersembunyi di balik awan putih. Debur ombak yang mengikis pantai menjadi pemandangan yang akan mudah aku temui.

Setelah berkeliling akhirnya kami mendapat kos-kosan di tengah kota yang letaknya cukup jauh dari pabrik. Pabrik terletak cukup jauh dari jantung kota dan tempatnya ditengah-tengah persawahan. Kami lebih memilih tempat yang dekat dengan peradaban daripada tempat yang minim tempat untuk mencari ini itu. Kami harus beradaptasi dengan kebiasaan orang-orang disini, yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Satu kata yang harus diganti adalah angkutan umum. Di Tuban yang namanya angkutan umum adalah taksi, dan yang namanya taksi pribadi itu tidak ada.

Jumat 3 Juni 2011. Kami memutuskan berangkat ke pabrik untuk memulai hari pertama kami sebagai mahasiswa kerja praktik.  Matahari baru saja terbit ketika kami mengawali hari ketiga kami di kota kecil ini. Para penduduk mulai beraktivitas. Anak-anak sekolah mulai berjalan menuju sekolah mereka. Mobil dan motor lalu lalang, namun tak ada kemacetan karena volume mobil jauh lebih kecil dari luas jalan. Udara masihlah dingin, belum  terganti oleh terik khas kota pesisir.

‘Patung’, itu merupakan tempat keberangkatan angkutan umum kami. Kenapa disebut patung ? Karena ada patung pahlawan (lupa siapa) yang sedang menaiki kuda disitu. Kami tidak menyewa motor untuk kendaraan kami karena hanya 1 orang yang bisa mengendarai motor, 3 lainnya tidak. Satu hal yang membuatku amat kagum dengan kota ini adalah kebersihannya. Tak ada tuh yang namanya tumpukan sampah di jalan-jalan. Dan yang membuat saya lebih kagum adalah jarang ditemui tempat sampah umum. Bagaimana bisa ya, bisa sebersih ini namun tempat sampahnya jarang-jarang ? Kalau di Jakarta, tempat sampah banyak namun tetap saja kotor.

Awalnya perjalanan di angkutan umum/taksi lancar-lancar saja. Penumpang datang dan turun, kebanyakan didominasi oleh pelajar dan petani. Lalu kami mulai terkejut ketika segerombolan petani yang berniat naik. Memang angkutan umum / taksi disini cukup jarang dan yang naik cukup banyak. Jadi apa yang terjadi kalau begini ? Desak-desakan. Saya pikir hanya di busway yang desak-desakannya parah, namun ternyata disini sama. Namun perbedaannya adalah, semua penumpang tetap tersenyum dan mau untuk mempersempit tempat duduknya agar semua muat. Bahkan ada yang sampai pangku-pangkuan agar semua bisa masuk. Mereka tak risih dengan ketidaknyamanan yang harus mereka alami karena mempersempit tempat duduk mereka. Pemandangan berdesak-desakan ria itu tak jarang terjadi. Mereka tak mengeluh atau mengatakan “sudah penuh , cari yang lain saja”, namun mereka saling bertoleransi agar semua bisa muat. Kalau di jakarta bahkan ada yang tak mau bergeser di metro mini walaupun sebelahnya kosong.

Saya dan teman-teman adalah pendatang di kota ini. Penampilan dan gaya kami memang cukup berbeda dari penduduk asli. Ditambah lagi kami harus menenteng helm pabrik, menambah kesan kalau kami adalah pendatang. Terkadang ada yang menanyai kami, “Baru ya disini ?”. Lalu kami menjawab “Tidak bu, kami lagi kerja praktik.”.”Asalnya dari mana ? Berapa lama kerja praktiknya ?” Entah mengapa disini aku percaya dengan penduduknya walau mereka orang asing. Aku percaya mereka tak mempunyai niat buruk terhadapku. Terkadang mereka mempersilakan kami duduk di bangku yang empuk di angkutan umum. Mereka memperlakukan pendatang bagaikan tamu yang harus dimuliakan. Sungguh budaya timur yang asli.

Pabrik yang besar dan luas. Nama perusahaan tertera jelas di depan pintu gerbang pabrik. Sawah berada di sekeliling pabrik. Pabrik ini memproduksi semen sebagai produk utamanya. Terik matahari selalu menjadi penjaga pintu ketika kami memasuki pabrik tiap hari. Pepohonan bercorak putih, terhempas debu dan sisa semen yang beterbangan. Danau kecil (istilahnya bozem) bagaikan fatamorgana di tengah teriknya udara. Debu beterbangan, terhempas roda besar ketika truk pengangut batu kapur melintas.

Satu hal yang harus kami persiapkan ketika sampai pabrik adalah sun block karena udara disini sungguh panas apalagi siang hari. Ditambah lagi kami harus berjalan kaki jika ingin pergi dari satu unit pabrik ke unit lain yang jaraknya lumayan jauh. Udara berdebu makin menambah gersang jalanan. Oke, hanya sebulan dan kami tak boleh mengeluh.

Terkadang kami ditawari tumpangan mobil bak terbuka yang sedang kosong jika ingin ke suatu unit pabrik yang jauh. Memang di pabrik ini banyak mobil bak terbuka untuk mengangkut batu kapur, tanah liat dan lain-lain. Kalau mereka melihat kami sedang berjalan dan mobil bak terbuka sedang kosong, pasti mereka menawarkan kami untuk menumpang tak peduli jika tujuan kami berbeda dengan tujuan mereka. Sesekali mereka malah sengaja mengantar ke tempat tujuan kami. Alhamdulillah kami tertolong dan bisa mencegah terkurasnya tenaga karena harus berjalan jauh di tengah terik.

Sebagai mahasiswa kerja praktik, kami dituntut untuk bisa mengerti proses-proses di pabrik, bahan bakunya, pengendalian prosesnya, utilitasnya, pengelolaan limbahnya dan lain-lain. Kemudian kami harus menyusun semuanya ke dalam bentuk laporan. Untuk itu kami harus mengelilingi setiap unit pabrik untuk mencari informasi yang kami butuhkan.

Awalnya kami kira kedatangan kami hanya akan menjadi pengganggu pekerja disini. Kami datang ke suatu unit pabrik, memperkenalkan diri kemudian bertanya-tanya, dan meminta untuk meng-guide­ kami keliling unit pabrik agar kami bisa menyusun laporan kami. Kami datang di saat waktu kerja, menggerecoki para pekerja ketika mereka sedang dibuk dengan aktivitasnya menjalankan pabrik agar tetap beroperasi. Dalam hati aku berpikir pasti akan cukup sulit untuk menyusun laporan kerja praktik ini.

Namun sikap mereka tak seperti yang dikira. Mereka sangat terbuka pada kami. Keramahan dan kesopanan selalu mereka junjung ketika melayani kami. Dengan senyum, mereka menjawab semua pertanyaan kami. Mereka memberikan penjelasan dengan perlahan agar kami mengerti. Di ruang operator, di laboratorium, di lapangan, baik teknisi, operator, manager, kepala bidang, mereka semua sama, ramah dan terbuka. Mereka tak pernah berkata, “besok saja deh, sekarang saya sedang sibuk.” Mereka bahkan antusias dan senang dengan kedatangan kami karena mereka senang bertukar ilmu dengan orang baru.

“Pak, kalau mahasiswa kerja praktik begini adanya tiap bulan apa ?”

“Oh tiap bulan biasanya ada. Dan tiap bulan biasanya dari banyak universitas datang.”

Memang satu kloter kerja praktik, selama 1 bulan, bisa terdiri dari 4-6 universitas. Jadi hampir setiap hari mereka harus digerecoki oleh mahasiswa kerja praktik seperti kami, menjelaskan tentang proses di unit mereka, mengantar ke lapangan yang terik, dan melayani permintaan data yang kami inginkan. Kalau aku sih pasti bosan kalau harus tiap hari melayani mahasiswa kerja praktik, menejelaskan hal yang sama dan ditanyakan hal yang sama. Orang sama pekerjaan saja sudah ribet apalagi ditambah gerecokan mahasiswa kerja praktik. Namun orang di pabrik ini tidak demikian. Alhamdulillah orang disini baik-baik.

Jika jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, maka sudah saatnya kami pulang ke kosan yang terletak di kota. Satu-satunya kendaraan yang bisa kami naiki adalah angkutan umum/taksi. Kami sudah diperingatkatkan oleh orang pabrik kalau angkutan umum hanya ada sampai jam 16.00. Awalnya perjalanan pulang kami selalu lancar, angkutan umum selalu lewat dan kami bisa pulang. Sampai suatu hari, belum seminggu kami menjalani kerja praktik, perjalanan pulang kami menemui hambatan. Kami sudah menunggu dari pukul 15.30 sampai pukul 17an namun tak ada angkutan umum yang lewat. Kalau tidak ada angkutan umum kami tak tak tahu harus pulang naik apa. Ojek tak ada, taksi asli juga tak ada. Masa kami harus menginap di halte bus ? Jalan kaki tak mungkin, bisa berkonde ini betis.

Kami memikirkan untuk meminta bantuan saudara salah seorang teman untuk menjemput kami. Walau sangat tidak enak karena akan merepotkan, itu satu-satunya cara. Namun hal tersebut tak diperlukan ketika sebuah mobil bak terbuka menawari kami pulang. Menikmati perjalanan di temani terpaan angin sembari menikmati pemandangan sawah di kala senja. Sebenarnya mobil bak terbuka ini tidak bertujuan untuk ke daerah patung (tempat kosan kami), namun mereka mengantarkan kami sampai ke patung. Saya sangat bersyukur, kalau tidak ada mobil ini bisa menginap di halte.

Perjalanan pulang dengan mobil bak terbuka  bukanlah yang terakhir kali. Kami selalu naik mobil bak terbuka ketika kami tidak mendapatkan angkutan umum dan sebagian besar mobil bak terbuka  yang kami naiki sebenarnya tidak bertujuan ke daerah patung. Mereka dengan sukarela mengantarkan kami sampai ke tujuan. Kalau di Jakarta sih boro-boro ada yang mau merepotkan diri mengantar ke sana sini.

Hari demi hari berganti sampai hari terakhir kami kerja praktik. Kami pulang, meninggalkan pabrik untuk terakhir kalinya. Mobil bak terbuka  menjadi angkutan yang membawa kami pulang ke kosan karena tak ada angkutan umum. Besok kami sudah harus berangkat ke gresik untuk menyerahkan laporan yang telah kami susun. Senja sudah terbit, matahari telah kembali terlelap, mengatakan selamat tinggal pada kamiu yang akan pergi dari Tuban besok. Kami sedangdi kosan, menyiapkan koper ketika kami menyadari kalau ponsel salah satu temanku tak ada.

“Yakin udah lo periksa di tas ?”

“Iya, HP gw nggak ada. Coba lo teleponin wid.”

Aku menelpon ke nomor temanku, ada yang mengangkat. Ternyata ponsel temanku terjatuh di bak mobil bak terbuka yang tadi kami tumpangi. Kami sudah tidak ke pabrik lagi besok karena waktu kerja praktik telah habis dan kami harus ke Gresik besok. Mengetahui hal tersebut, untunglah orang itu mau mengantarkan ponsel temanku ke daerah patung dengan sukarela. Dalam hati aku berkata “baik sekali orang itu.” Itu merupakan pengalaman hari terakhir yang tak terlupakan.

Aku meninggalkan Tuban dengan sebuah persepsi baru. Ini merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Di sebuah kota kecil di pinggir laut ini, tak ada  gedung, tak ada mall, yang ada hanya persawahan dan rumah-rumah warga. Disini para warga sangat menjaga apa itu yang kita sering sebut budaya timur. Mereka semua ramah, sopan, memuliakan tamu, selalu tersenyum dan lain-lain. Disini nilai luhur budaya timur masih kental dan tidak terkikis oleh budaya asing yang mulai mendominasi.

Saya sadar bahwa selama ini saya salah. Indonesia bukanlah hanya Jakarta, melainkan juga semua kota yang tersebar di penjuru sabang sampai merauke. Jika saya tidak bisa menemukan budaya timur asli di Jakarta, saya yakin saya masih bisa menemuinya di jutaan kota di seluruh Indonesia. Tuban menjadi musem yang menjaga nilai budaya timur yang selalu kita bangga-banggakan. Saya yakin masih banyak Tuban-Tuban lain yang menjaga budaya asli Indonesia yang ketimuran.

Budaya barat memang memiliki beberapa poin berbeda dengan budaya timur. Kedua budaya memilki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita harus bisa selektiv dalam menanggapi derasnya budaya barat yang masuk. Sudah seharusnya kita mengambil nilai yang positiv dan menolak yang negatif. Jangan sampai kita kehilangan identitas diri kita sebagai bangsa timur yang terkenal akan keramahannya. Dan Jika Anda bertanya pada saya, apakah Indonesia masih menjunjung budaya timur ? Saya akan berkata YA.

sumber

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-45448-Makalah-Perbedaan%20Kebudayaan%20Barat%20dan%20Kebudayaan%20Timur.html

http://detroitnumb.blogspot.com/2012/04/budaya-barat-dan-budaya-timur.html

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/perbedaan-kebudayaan-barat-dan-kebudayaan-timur/

5 comments on “Budaya Timur (Masih) Merupakan Budaya Indonesia

  1. Tidak apa-apa kali wid sekarang idealis daripada sekarang udah terkontaminasi sama nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai luhur kita #ikutansokidealis

    • Yups emang bener.
      Terutama budaya timur yang Indonesia ya bukan yang K-Pop2 gitu. Budaya Indonesianya juga bukan yang ngaret atau suka nyuap tapi yang positif aja.
      Btw salam kenal ya

Leave a reply to widya Cancel reply