Sesuatu yang Hilang dari Pendidikan

artikel ini saya ikut sertakan dalam lomba blog Gerakan Indonesia Berkibar. Sumber

Selama seminggu terakhir ini, saya sering melihat pemberitaan tentang tawuran antara dua sekolah yang menewaskan salah satu pelajar. Media memberitakan dari segala sisi dan mengupas dari berbagai aspek; dari sejarah sekolah tersebut, track record tawuran, kurikulum pendidikan, dan macam-macam. Dialog-dialog diadakan di berbagai stasiun televisi untuk menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Hal tesebut tentunya menyebabkan publik memiliki banyak persepsi mengenai dunia pendidikan Indonesia.  Mulai dari persepsi yang biasa-biasa saja, sampai persepsi yang terlalu menggeneralisir seperti contoh : “Inilah cerminan buruknya pendidikan di Indonesia.” Sebenarnya saya kurang setuju dengan pendapat-pendapat seperti itu yang kesannya terlalu negative thinking dan menggeneralisir. Yah mereka hanya berpendapat, dan tak ada larangan untuk itu jadi terserah kita mau menerima atau tidak. Walaupun saya alumni SMA 70, SMA yang menjadi perbincangan itu, saya tak mau menitikberatkan artikel ini ke ‘pembelaan’ ke almamater saya. Saya hanya ingin berpendapat menghubungkan antara tawuran-twauran itu dengan yang terjadi di pendidikan di Indonesia.

Saya memasuki bangku SD tahun 1996-2002 , SMP tahun 2002-2005 SMA, tahun 2005-2008, dan kuliah tahun 2008-2012. Tulisan saya, saya batasi hanya dari SD-SMA saja ya. Dari SD sampai SMP saya (katanya) mengadopsi kurikulum tahun 1994, lalu ketika SMA saya (katanya) menganut kurkulum KBK lalu KTSP. Hmm sebagai objek pendidikan, saya tak terlalu melihat perbedaan dari semua kurikulum yang saya lalui. Real yang terjadi di kelas adalah seperti ini. Duduk lalu mendengarkan guru ceramah, mengerjakan soal, dan diberi PR. Kalau SMA memang lebih lengkap karena ada lab, LCD (jarang si), TV untuk TV-learning (di perpus) namun itu hanya kegiatan minor yang tidak selalu dilakukan. Secara keseluruhan metode penyampaian ilmu di semua kurikulum tersebut sama; mendengarkan, mencatat, dan menghafal. Jadi kalau misalnya saya ditanya “apa sih bedanya KBK sama KTSP dulu ?” Maka jawaban saja adalah “saya tidak melihat adanya perbedaan”. Satu-satunya perbedaan yang terlihat jelas hanya kepanjangannya saja KBK itu Kurikulum Berbasis Kompetensi kalau KTSP itu Kurikulum Terserah Siapa Pengajarnya, eh… maksudnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Kalau perbedaan Kurikulum 1994 dengan KBK dan dengan KTSP pasti ada. Para cendikiawan yang merinci dan menyusun kurikulum ini pasti setengah mati dalam membuatnya. Mau tahu perbedaan pastinya seperti apa ? Check link ini .  Walaupun titik berat ilmu yang ingin disampaikan berbeda, namun menurut saya, yang sudah mengalami, tidak ada perbedaan metode mendasar sehingga jatuhnya tidak ada perbedaan yang signifikan tuh. Mungkin metode penyampaian seperti itu adalah metode yang paling mudah dan  feasible untuk dilakukan seorang guru ke muridnya yang berjumlah puluhan.

Lalu apa hubungannya metode, kurikulum KBK dan KTSP itu dengan tawuran yang saya utarakan di paragraf awal ? Sebenarnya menurut saya ada satu missing link yang cukup penting yang kurang di tekankan pada pendidikan di Indonesia belakangan ini yaitu pendidikan budi pekerti. Emang seberapa pentingkah pelajaran itu ? Mungkin banyak yang menyepelekan karena pelajaran seperti itu kan tak perlu diajari namun langsung diterapkan saja dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun untuk menerapkannya perlu penekanan yang cukup agar nilai budi pekerti meresap ke generasi muda. Budi pekerti bagaikan kompas yang menuntun siswa dalam mengamalkan ilmunya. Mungkin kalimat itu terdengar normatif, namun coba tengok ke masa SD kalian semua.

Saya ingat sekali, ketika dulu SD saya mendapat pelajaran PPKN. Ketika mendapat pelajaran itu saya sangat senang karena pelajaran itu tak perlu berpikir keras seperti matematika atau IPA. Tinggal pilih jawaban yang bagus maka akan lulus ujian. Textbook pelajaran PPKN pun kebanyakan berisi kalimat-kalimat normatif dan ideal. Yah kalau mau ujian pelajaran PPKN adalah pelajaran yang paling terakhir saya pelajari karena isinya yang begitu-begitu saja; monoton dan tidak ada tantangannya tidak seperti matematika yang penuh lika liku.

Alhamdulillah saya masih bisa mengingat poin-poin yang dulu buku PPKN coba berikan kepada saya. Apa kalian bisa ingat ? Ya, babnya berbunyi gotong royong, toleransi, keikhlasan, tolong menolong, kejujuran, dan lain-lain. Yah intinya judul babnya itu adalah hal yang baik-baik. Di setiap bab selalu ada cerita yang menggambarkan poin bab tersebut. Siswa dituntut untuk bisa menyerap makna nilai-nilai tersebut dari cerita yang disajikan. Well sadar atau tidak, semua itu adalah nilai luhur bangsa yang ingin di sampaikan ke generasi muda. PPKN yang mengajarkan budi pekerti merupakan media penurunan nilai yang terstruktur di sekolah. Ketika dulu saya SD, saya tidak memikirkan bahwa sebenarnya pelajaran itu tuh sepenting itu untuk mewariskan identitas bangsa ini. Yah saya hanya anak SD biasa dulu, yang penting bisa dapat nilai bagus yowes. Saya harap tak semua berpikir seperti saya (PPKN mah gampang).

Sangat disayangkan, sekarang pelajaran tersebut sudah dan makin tergerus oleh pelajaran-pelajaran eksak yang lebih membutuhkan perhatian. Bayangkan saja rata-rata kelas 1 SD sudah menghadapi IPA, IPS, Bahasa Inggris dan Komputer, menyisakan pelajaran PPKN yang hanya 2 jam pelajaran. Kalau dulu IPA, IPS, Bahasa Inggris saya baru dapat kelas 4 SD dan komputer baru saya dapat kelas 1 SMP. Zaman memang terus maju namun jangan korbankan budi pekerti anak dengan ilmu eksak. Dulu zaman saya yang pelajarannya saja tidak sesusah sekarang saja, saya menganggap PPKN pelajaran yang ‘entar aja deh belajarnya’, apalagi sekarang. Maksudnya misalnya besok ada ulangan IPA dan PPKN, ya mending belajar IPA yang lebih harus dimengerti. Bagus kalau bisa ngerti, yang ada mah hafal mati dulu kalau sudah selesai ujian ya lupa lagi sama pelajarannya. Maklum dulu saya seperti itu kalau sudah buntu sama pelajaran, hafal mati dulu, ngerti belakangan. Anak-anak harus ditanamkan budi pekerti yang baik agar semua ilmu eksak yang diajarkan bisa diaplikasikan untuk hal yang baik.

Kalau dulu saya belajar ditemani orang tua saya, mereka juga tak mengenal PPKN namun mereka mengenalnya dengan pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Menurut Ibu saya, dulu pelajaran ini cukup ditekankan kepada murid-muridnya. Maklum dulu ilmu tidak seberkembang sekarang, jadi titik berat sekolah dasar bukan ke ilmu eksaknya. Memang itu dulu dan dunia makin maju.  Anak zaman dulu mana kenal Ipad atau blackberry, mereka kenalnya kelereng. Bukan berarti anak sekarang tak boleh mengenal Ipad, mengejar perkembangan ilmu boleh namun tetap jangan lupakan identitas bangsa. Kalau tak diberikan arah, ilmu malah bisa menjadi bumerang untuk anak-anak kita sendiri.

Kalau menghubungkan dengan peristiwa tawuran yang kemarin terjadi sih… In my opinion, penyebab tawuran memang tidak diketahui pasti, biasanya sih karena ejek-ejekan ditambah lokasi kedua sekolah yang berdekatan. Sekedar meluruskan pemberitaan, saya kurang setuju kalau media mengatakan “Siswa SMA 70 selalu tawuran semenjak dahulu.” Tak semua siswa SMA 70 seperti itu (including me. Hehe). Banyak prestasi yang diukir siswa SMA 70, hanya saja semua tenggelam oleh berita tawuran. Tawuran memang hal yang menurut saya tidak penting dan merugikan. Toh kalah menang sama-sama bonyok. Lalu kenapa tetap tawuran ? Menurut saya karena rasa kepemilikan terhadap sekolah yang disalah artikan sehingga melenceng dari yang diharapkan sekolah. Ada perbedaan persepsi mengenai tawuran itu sendiri, ada yang menganggap tawuran itu perlu ada yang menganggap nggak penting. Ditambah lagi tak ada angkatan yang mau memutus mata rantai tawuran.  Namun sekali lagi, tidak semua siswa SMA 70 seperti itu loh.

Saya turut berduka ketika mendengar tawuran sampai memakan korban jiwa. Berbagai soulsi hendak diterapkan untuk mencegah bencana. Ada yang berrencana menggabungkan sekolah, menurunkan standar sekolah, dll. Menurut saya, itu adalah langkah untuk penanggulangan. Sebenarnya toleransi dan saling memaafkan adalah solusi yang harus ditanamkan dari dalam. Lebih lagi harus ada angkatan yang rela ‘digembleng’ tanpa menggembleng ke angkatan bawahnya (semoga solusi ini ada hanya saja tak terekspos media). Terlihat terlalu ideal ya ? Ketika kuliah dulu, saya diajarkan kalau tak ada kondisi yang ideal, yang ada itu kondisi mendekati ideal. So, kita masih bisa menuju kondisi mendekati ideal. Caranya ? Mulai dari menanamkan budi pekerti ketika SD. Jangan salahkan siswa atas perbuatan brutal mereka, mereka hanya produk dari pendidikan yang mengedepankan ilmu eksak & hafal tanpa menanamkan ilmu yang mengarahkan pergerakan mereka.

Menanamkan budi pekerti itu harus benar-benar menancap sampai ke tanah dan bukan hanya di permukaan saja. Maksudnya ? Pelajaran budi pekerti ini bukanlah pelajaran yang sama seperti matematika atau IPA yang metode penanaman nilainya dilakukan dengan banyak latihan soal dan menghafal materi. Kalau matematika dimana-mana hasil dari soal “2X2” selalu “4”, namun kalau PPKN soal “sesama manusia kita harus saling ?” akan memiliki jawaban yang berbeda-beda tiap anak. Disinilah peran guru harus maksimal dalam memfollow up pelajaran ini. Mungkin ini berat bagi para guru, melakukan evaluasi nilai yang tidak bisa diukur secara kuantitatif. Hanya kalian yang capable dan bisa melakukan itu. Semangat para guru, kalian memang layak disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Tolong selamatkan tunas-tunas bangsa. Nasib bangsa bergantung kepada kalian.

Kemarin saya melihat berita akan ada perombakan kurikulum dimana IPA & IPS akan digabungkan, sehingga pelajaran tidak terlalu memberatkan siswa. Bahkan ada yang mengatakan kalau akan ada pelajaran sikap. Sumber. Hmm, saya sangat senang mendengar hal ini. Kalau melihat sepupu saya yang masih SD kasian juga sih, masih kecil tapi pelajarannya sudah susah dan seabrek-abrek. Tentunya rencana ini harus dibarengi dengan pelatihan guru-guru dan peningkatan kesejahteraannya. Kurikulum dulu, (terutama KBK & KTSP) memang terlalu ‘menghafal sentris’ dan ‘nilai oriented’. Saya percayakan kepada para ahli untuk menggodok kurikulum yang mengedankan sikap. Semoga kedepannya banyak tercetak einstein berhati manusia alih-alih einstein berhati koruptor.

Jadi apa kesimpulan dari uraian panjang lebar saya ? Pelajaran budi pekerti di sekolah memang sudah ada semenjak dulu, yaitu melalui PMP, PPKN, dan semacamnya, namun keberadaannya terus tergerus oleh pelajaran yang lebih menyita otak karena tuntutan kurikulum yang mengikuti perkembangan zaman. Sudah seharusnya pendidikan mengedepankan pendidikan budi pekerti yang lebih penting untuk pembentukan karakter siswa kedepannya. Ketika kuliah saya sadar semua judul bab PPKN yang bagus-bagus itu sebenarnya memiliki makna mendalam yang harus menyerap ke dalam setiap individu sebagai pegangan dalam bertindak. Walaupun kalimat tersebut terkesan ideal dan normatif, namun menurut saya itu merupakan hal yang terlupakan dari pendidikan di Indonesia saat ini. So, jangan permasalahkan kalau hal itu terlalu ideal atau muluk, karena usaha untuk mencapai keidealan itulah yang harus dipermasalahkan dan diperjuangkan.

Oya satu hal lagi. Masih ingatkah dengan model soal PPKN seperti ini ?

Siapakah yang bertugas untuk menjaga kebersihan lingkungan ?

a.      Semua warga

b.      Petugas dinas kebersihan

c.       Gubernur kota yang bersangkutan

Bila kita dalam perjalanan dan melihat sebuah kecelakaan terjadi di pinggir jalan apa yang harus kita lakukan ?

a.      Turun dari kendaraan dan menolongnya

b.      Tetap jalan sambil hanya menontonnya

c.       Acuh dan pura-pura tidak tahu

Dulu kalau ada soal-soal PPKN seperti ini, saya mantap sekali untuk menjawab salah satu pilihan namun sekarang kok terasa bersalah ya kalau mau menjawab itu lagi. Yah semoga hanya saya yang merasakan hal itu.

Leave a comment